Beberapa foto di bawah ini memperlihatkan persimpangan yang membuat kebingungan jika anda melaluinya.



































duh kok jadi pusing ya liatnya sahabat wow?


sumber
Ban bekas yang sudah tidak berguna ternyata bisa didaur ulang menjadi barang-barang yang fungsional sekaligus mengandung nilai seni yang tinggi. Selain ramah lingkungan, ban-ban bekas ini pun kini memiliki fungsi-fungsi baru, mulai dari perabotan rumah, perhiasan, hingga benda seni yang menakjubkan.










sumber
Kopi terkenal sebagai yang terbaik dari minuman yang tersedia di seluruh dunia. Yang paling menyegarkan dari semua minuman, itu populer dengan orang-orang dari semua kelompok usia sebagai energi pendorong. Menjadi tanaman komersial, kopi adalah andalan ekonomi dari banyak negara. Ada beberapa varietas kopi. Mereka berbeda dalam kualitas, rasa dan selera. Berikut ini adalah daftar sepuluh kopi termahal dari berbagai belahan dunia.

1. Kopi Luwak - Indonesia

Kopi Luwak adalah kopi yang diproduksi dari biji kopi yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan binatang bernama luwak. Kemasyhuran kopi ini telah terkenal sampai luar negeri. Bahkan di Amerika Serikat, terdapat kafe atau kedai yang menjual kopi luwak (civet coffee) dengan harga yang cukup mahal. Kopi yang dikais dari kotoran luwak ini bisa mencapai harga : $160 per pon/Rp. 1.500.000 per stgh Kg .

Kemasyhuran kopi ini diyakini karena mitos pada masa lalu, ketika perkebunan kopi dibuka besar-besaran pada masa pemerintahan Hindia Belanda sampai dekade 1950-an, di mana saat itu masih banyak terdapat binatang luwak sejenis musang.
Kopi luwak asli dari Lampung Barat

Luwak, atau lengkapnya musang luwak, senang sekali mencari buah-buahan yang cukup baik dan masak termasuk buah kopi sebagai makanannya. Luwak akan memilih buah kopi yang betul-betul masak sebagai makanannya, dan setelahnya, biji kopi yang dilindungi kulit keras dan tidak tercerna akan keluar bersama kotoran luwak. Biji kopi seperti ini, pada masa lalu sering diburu para petani kopi, karena diyakini berasal dari biji kopi terbaik dan telah difermentasikan secara alami dalam perut luwak. Dan konon, rasa kopi luwak ini memang benar-benar berbeda dan spesial di kalangan para penggemar dan penikmat kopi.

2.Island Dari St Helena Coffee Company - St Helena

Pulau St Helena, 1.200 mil di lepas pantai Afrika adalah berkembang biak bagi St Helena Coffee. Itu berutang popularitasnya yang sekarang pada Napoleon Bonaparte yang memuji kopi menaburkan benihnya di Pulau St Helena. Anda dapat menikmati kopi dengan harga : $79 per pound/Rp. 750.000 per stgh Kg .

3. Starbucks Rwanda Blue Bourbon - Gatare / Karengera

Starbucks menemukan biji kopi ini di Gatare dan Karengera dari kunjungan mereka ke stasiun cuci kopi di Rwanda pada tahun 2004. Sekarang, Rwanda Blue Bourboncoffee petani menanam kacang-kacangan sebagai tanaman utama. Anda dapat menikmati kopi ini dengan harga : $24 per pon/Rp 230.000 per stgh Kg .

4. El Injerto - Huehuetenango, Guatemala

Semacam ini kopi oleh El Injerto berutang asal-usulnya di wilayah Huehuetenango, Guatemala. Telah dikantongi hadiah pertama tahun 2006 Piala of Excellence. Anda dapat menikmati kopi dengan harga : $50 per pon/Rp 470.000 per stgh Kg

5. Fazenda Santa Ines - Minas Gerais, Brazil

Dinilai sebagai yang tertinggi di Piala of Excellence sejarah, kopi ini adalah kemarahan dengan Caffe Artigiano, sebuah kafe terkenal di Kanada dan dua roasters Australia. Cangkir kopi eksklusif ini tersedia di toko-toko khusus lain di seluruh dunia. Anda dapat menikmati kopi ini dengan harga : $50 per pon/Rp 470.000 per stgh Kg .


6. Selecto AA Yauco Coffee - Puerto Riko

Berasal dari wilayah Yauco, Puerto Riko kopi dikenal untuk keunggulan di seluruh dunia. Diproduksi di Pegunungan Southwestern Puerto Riko, kopi ini dihargai karena rasa ringan. Anda dapat menikmati kopi ini dengan harga : $24 per pon/Rp 230.000 per stgh Kg .


7. Blue Mountain - Wallenford Estate, Jamaika

Blue Mountain Jamaika dikenal dengan kualitas variabel. Hal ini sangat populer di kalangan pencinta kopi ringan karena rasa dan Aroma yang kuat. Jepang mengimpor sekitar 85% dari kopi ini. Anda dapat menikmati kopi ini dengan harga : $ 49 per pon/Rp 460.000 per stgh Kg.

8. Los Planes - Citala, El Salvador

Los Planes terbaik tumbuh tanaman komersial di El Salvador peringkat kedua di Piala of Excellence 2006. Hal ini menjadi 93,52 dari 100 dari juri internasional dalam kompetisi. Anda dapat menikmati kopi ini dengan harga : $40 per pon/Rp 370.000 per stgh Kg .

9. Kopi Kona Hawaii

Brasil memperkenalkan Inggris pohon kopi ke tanah vulkanis kaya Kona pada akhir 1820-an. Iklim di tempat itu cocok untuk budidaya kopi ini. Dikenal dengan rasa nyaman dan rasa, Anda dapat menikmati kopi ini dengan harga : $34 per pon/Rp 320.000 per stgh Kg .

10. Hacienda La Esmeralda - Boquete, Panama

Hacienda La Esmeralda's Geisha tumbuh di Boquete, Panama adalah populer di seluruh dunia karena rasa. Hal ini sebagian besar dibudidayakan di bawah naungan pohon-pohon jambu biji tua. Anda dapat menikmati kopi dengan harga : $104 per pound/Rp 1.000.000 per stgh Kg .

wow - Berdiri pada 6 November 1999, situs komunitas lokal KASKUS makin populer di Indonesia, bahkan menduduki peringkat 251 di dunia. KASKUS yang berarti ‘Kasak Kusuk’ mengalami pertumbuhan keuntungan melalui iklan sebesar 100% per tahun.

Didirikan oleh Andrew Darwis, Ronald Stephanus dan Budi Dharmawan dengan modal US$ 7, perjalanan ‘hidup’ KASKUS tidak sepenuhnya mulus. Di awal kemunculan, KASKUs kesulitan menggaet anggota, rata-rata jumlah anggota baru adalah tiga per minggu. Namun seiring pekembangan internet, KASKUS menjadi perusahaan profesional di bawah bendera PT Darta Media Indonesia. Melalui forum jual beli, KASKUS mampu menyetak pertumbuhan pendapatan iklan hingga 100%.

Keberhasilan Kaskus :

“Tidak ada langkah khusus yang dilakukan KASKUS karena kami tumbuh dengan sendirinya melalui kaskuser (nama panggilan bagi anggota forum KASKUS),” kata CEO KASKUS, Andrew Darwis. Salah satu cara menarik anggota baru adalah melakukan penambahan fitur, membuka forum baru bila ada permintaan serta peningkatan jumlah server.

Keberhasilan KASKUS sebagai forum komunitas terbesar di tanah air bisa dilihat dari beberapa indikator. Pertama, jumlah anggota. Hingga saat ini anggota KASKUS mencapai hampir 4 juta orang yang berasal dari dalam dan luar negeri . Tahun 2008 ke 2009 pertumbuhannya mencapai lebih dari 150% dan peningkatan tersebut juga memberi indikasi bahwa akses ke internet semakin membaik dan berkembang

Kedua, jumlah page view. Per bulan Agustus 2011 totalnya mencapai 838 juta atau setara 20 juta setiap hari. KASKUS juga sudah mempunyai lebih dari 408 juta posting. Dari sekian banyak konten dalam Kaskus.us, konten Jual Beli dan Lounge lah yang menjadi favorit dan banyak dikunjungi oleh Kaskuser. “Untuk jumlah transaksi tidak bisa diketahui secara nominal pastinya karena semua transaksi dilakukan antara Kaskuser secara langsung, baik melalui COD (cash on delivery), transfer antar rekening ataupun jasa rekening bersama dimana pihak KASKUS tidak terlibat langsung dalam transaksi jual beli. Kami hanya sebatas sebagai penyedia wadah melakukan jual beli barang,” jelas penyandang gelar Master Computer Science, Univeristas Seattle, Amerika Serikat yang lahir pada 20 Juli 1979 ini.

Berapa Pendapatan Kaskus?

Pendapatan KASKUS dari pemasukan iklan juga semakin meningkat pesat. Dulu perusahaan sulit meyakinkan pengiklan untuk beriklan. Tapi kini keadaan tersebut berbeda 180 derajat. Pemasukan iklan ke perusahaan mengalir deras. Banyak brand-brand besar yang akhirnya percaya untuk memasang iklan dihalaman web KASKUS. “Yang pasti prosentase nya terus meningkat dari tahun 2009 hingga sekarang. Kenaikan bisa lebih dari 100% per tahun,” klaim Andrew.

Besarnya KASKUS tak luput dari loyalitas anggota yang bersedia berbagi informasi meski tidak dibayar sepeser pun. Anggota merasa mendapatkan manfaat dari anggota yang loyal, akhirnya berbalik menjadi anggota loyal yang berusaha memberikan kontribusi ke KASKUS yang akhirnya merekrut anggota baru yang berpotensi menjadi anggota loyal baru.

Menurut Andrew, siklus dari mulut ke mulut yang membuat KASKUS semakin bertumbuh besar dan bergerak agresif. Ini yang menjadi keunikan KASKUS, orang datang ke KASKUS untuk mencari sesuatu entah itu informasi atau barang. KASKUS selalu berusaha untuk memenuhi apa yang dibutuhkan anggota dan terus mengajak Kaskuser untuk membuat thread yang bermutu. “KASKUS ibarat sebuah negara yang terdiri dari 4 juta anggota, diisi dari berbagain macam orang dengan karakteristik dan kebutuhan yang berbeda. Tantangannya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan yang berbeda-beda tersebut dan semuanya bisa terpuaskan,” jelas Andrew menganalogikan.

Dan Akhirnya Mbah Google Turun Tangan :

Karena terus tumbuh, KASKUS pun mendapat banyak tawaran yang menggiurkan. Diantaranya tawaran untuk bergabung menjadi keluarga Yahoo dan Google. Dua raksasa dunia maya tersebut tertarik untuk meminang KASKUS. Bahkan Google berani membeli KASKUS seharga US$ 50 juta atau setara dengan Rp 475 miliar. Meski mengaku senang, Andrew dan rekan enggan menerima tawaran menarik tersebut. “Bukannya enggan menerima tawaran tersebut, hanya saja bila melakukan kerjasama kami menginginkan ada kesamaan visi dan misi yang nantinya akan membawa KASKUS ke arah yang lebih baik lagi,” jawabnya. (Acha/SWA)

Meski mengaku senang, Andrew dan rekan enggan menerima tawaran menarik tersebut. “Bukannya enggan menerima tawaran tersebut, hanya saja bila melakukan kerjasama kami menginginkan ada kesamaan visi dan misi yang nantinya akan membawa KASKUS ke arah yang lebih baik lagi.

Sumber
Wow - Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, berada di kawasan antara sungai Winongo dan sungai Code. Disuatu kawasan yang sangat strategis untuk segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Namun kalau kita amati secara lebih mendalam , ada satu hal yang membuat kita lebih takjub lagi, yaitu tentang tata letak kotanya. Sebab tata letak kota Jogja adalah tata letak kota yang terbaik di dunia!!!
Betapa tidak, bila kita lihat tata letak jogja yang dibangun dari arah selatan yaitu panggung krapyak kearah utara sampai dengan tugu sangatlah tertata sekali serta mengandung banyak falsafah; padahal blueprint tata letak kota tersebut dibuat pada zaman dimana dinegara kita belum semaju saat ini.

Bagi anda yang belum mengetahui dimana letak kehebatan tata kota jogja, inilah detail urutan bangunan beserta falsafahnya :

1.Krapyak adalah gambaran asal roh-roh. Di sebelah utaranya terletak kampong Mijen, berasal dari perkataan Wiji (benih), jalan lurus ke utara, dikanan kiri dihiasi pohon Asem dan Tanjung, menggambarkan kehidupan sang anak yang lurus, bebas dari rasa sedih dan cemas, rupanya nengsemake serta di sanjung-sanjung (tanjung) selalu.



2.Plengkung Nirbaya ( Plengkung Gading ), Plengkung ini menggambarkan periode sang anak menginjak dari masa kanak-kanak ke masa pra puber. Dimana sifatnya masih nengsemake ( pohon asem) dan suka menghias diri (nata sinom). Sinom merupakan daun asem yang masih muda.



3.Alun-alun selatan. Disini terdapapat dua pohon beringin yang disebut Wok. Wok berasal dari kata brewok. Dua pohon beringin ditengah-tengah alun-alun ini menggambarkan bahagian badan yang paling rahasia, oleh karena itu diberi pagar batu. Disekitar alun-alun inin terdapat lima buah jalan yang bersatu satu sama lain, menunjukkan pancaindra. Tanah berpasir artinya belum teratur lepas satu sama lain. Apa yang ditangkap belum teratur oleh pancaindra. Keliling alun-alun ditanami pohon Kweni dan Pakel artinya sang anak sudah wani (berani karena sudah akil balig)



4.Sitihinggil, arti harafiahnya tanah yang ditinggikan. Disini terdapat sebuah tratag atau tempat istirahat beratap anyaman bambu. Kanan kiri tumbuh pohon gayam dengan daun-daunnya yang rindang serta bunga-bunganya harum wangi. Siapa saja yang berteduh dibawah tratag ini akan merasa aman, tenteram senang dan bahagia. Menggambarkan rasa pemuda-pemudi yang sedang di rindu asmara. Konsep lain dengan esensi sama disampaikan bahwa Sitihinggil terdapat dua bangunan untuk penjagaan abdi dalem Gandheng=penghubung=penggandeng. Nama depan hamba (abdi) ini adalah Duto dan Jiwo, dengan maksud andudut Jiwa = Jiwanya ditarik bersamaan antara laki-laki dan perempuan menyalakan api percintaan.

5.Halaman kemandungan, menggambarkan benih dalam kandungan sang ibu.

6.Regol Gadung mlati sampai kemagangan merupakan jalan yang sempit kemudian melebar dan terang benderang. Suatu gambaran Anatomis kelahiran sang bayi. Disekeliling bangunan Siti Inggil (Sasana Inggil) ini terdapat jalan yang menuju ke halaaman Kemagangan. Jalan di kiri kanan ini disebut Pamengkang. Pamengkang berasal dari Mekangkang, posisi kaki yang berjauhan satu sama lain. Posisi ini menunjukkan keadaan seorang ibu yang akan melahirkan . disini bayi kemudian magang (kemagangan) menjadi calon manusia yang sesungguhnya.


7.Bangsal Mangun-Tur-Tangkil, sebuah bangsal kecil yang terletak di tratag Sitihinggil. Jadi sebuah bangsal di dalam bangsal yang mempunyai arti bahwa di dalam badan kita (wadag) ada roh atau jiwa. Manguntur Tangkil berarti tempat yang tinggi untuk anangkil, yaitu menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa dengan cara mengeheningkan cipta atau bersemedi. Di belakang bangsal ini terdapat sebuah bangsal lagi yang disebut bangsal Witono, yang mengandung arti wiwit ono (mulailah), merupakan awal kegiatan spiritual manusia mendekatkan diri dengan Tuhan.

8.Tarub Hagung, merupakan bangunan 4 tiang dari pilar yang mempunyai bentuk empat persegi. Arfti bangunan ini adalah : siapa yang gemar semedi sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berada selalu dalam keagungan.

9.Pagelaran, yang berasal dari kata Pagel = pagol = pager = batas dan aran =nama. Dimana habislah perbedaan manusia baik laki-laki maupun perempuan, terutama di hadapan Tuhan. Sehingga semua kalangan di dalam kraton menggunakan bahasa sama yaitu kramma inggil yang dirubah, yang disebut bahasa bagongan.


10.Alun-alun utara (lor) menggambarkan suasana nglangut, suasana sepi, suasana hati kita dalam samadi. Pohon beringin di tengah alun-alun menggambarkan suasana seakan-akan kita terpisah dari diri sendiri. Mikrokosmos bersatu dalam makrokosmos. Simpang empat sebelah utara menunjukkan godaan dalam semedi. Apakah kita jalan lurus (Siratal Mustaqim) atau menyimpang kekanan-kekiri.


11.Pasar Beringharjo, pusat godaan setelah kita mengambil jalan lurus berupa godaan akan wanita cantik, makanan yang lezat serta barang-barang mewah.


12.Kepatihan, lambing godaan akan kedudukan atau kepangkatan.


13.Tugu, symbol tempat Alif Mutakaliman Wachid, bersatunya kawula lan Gusti bersatunya hamba dan Tuhan

sumber
-wow- Ardian Syaf (31). Sosok komikus yang rendah hati ini memilih tinggal di kampung halamannya di Desa Tenggur, Kecamatan Rejotangan, Tulung Agung, bersama istri dan seorang anaknya. Dari kampung halamannya, karya Aan, sapaan akrabnya, mampu menembus dunia. Bahkan, ia disodori kontrak eksklusif sebagai penciller oleh penerbit raksasa Amerika, DC Comics.  Artinya, ia tidak boleh membuat ilustrasi selain di DC.

Tentu, Aan tidak meraihnya dengan gampang. Lulus kuliah tahun 2004 di Desain Komunikasi Visual, Universitas Negeri Malang, ia sempat bekerja sebagai tukang lay out dan illustrator sebuah penerbitan.
“Sejak tahun 2005, saya mulai melamar untuk menjadi illustrator penerbit dunia. Caranya, saya memasang lowongan pekerjaan untuk illustrator di berbagai web, dengan dilengkapi ilustrasi terbaik karya saya. Tapi, lama sekali enggak dapat order. Paling hanya order membuat komik tanpa imbalan. Meski begitu, tetap saya kerjakan, sambil mengasah kemampuan menggambar,” kata Ardian
Pelan-pelan Ardian mulai mendapat order kecil-kecilan. “Awalnya, per halaman dibayar 25 dolar. Itu pun komik pendek 8 halaman. Selama dua tahunan, saya hidup dari order-order kecil. Saya yang waktu itu sudah menikah, sempat putus asa. Sempat ingin bekerja di kota besar,” jelasnya.

SIKAP PROFESIONAL
Selanjutnya, Aan mendapat  informasi dari Ketty, seorang penulis Irlandia. Sebuah  penerbit tengah mencari ilustrator komik untuk proyek komik berjudulDresden Files. Ia segera memasukkan lamaran dengan melampirkan karya terbaiknya. “Esoknya saya langsung dapat jawaban. ‘Selamat Anda akan kami kontrak.’ Bahkan, saya dapat kontrak eksklusif dari penerbit Dabel Brother di AS dalam jangka waktu tertentu. Total saya mengerjakan sekitar 12 jilid, masing-masing setebal 22 halaman. Satu jilid, saya kerjakan selama sebulan. Hitungannya, satu hari satu halaman. Honor per halaman 100 dolar,” kata Aan, seraya mengatakan komiknya terbit tahun 2008.

Menjadi ilustrator untuk penerbit asing, menurut Aan, butuh sikap profesional. Mereka disiplin soal waktu. Dalam sehari, Aan mesti menyelesaikan satu halaman. Kata Aan, sebenarnya bukan persoalan berat. Naskah yang ditulis oleh Mark Powers ini, cukup rinci. “Dari deskripsi yang ditulis sang penulis, saya memindahkannya dalam bahasa gambar. Ternyata, mereka suka dengan karakter gambar saya,” kata Aan.
Semakin lama, gambar Aan makin matang. Apalagi, ia sangat menikmati pekerjaannya. Proyek pertama ini pun sanggup ia selesaikan dengan baik. Aan cukup berbangga ketika mendapat kabar, Dresden Files masuk peringkat keempat komik terlaris. Bahkan, masuk nominasi penghargaan komik di AS. Otomatis nama Ardian ikut terangkat. “Sayang, penerbit Dabel Brother, akhirnya bangkrut.”
Meski begitu, Ardian Syaf sudah menancapkan taring sebagai ilustrator mumpuni. Katanya, penerbit komik dunia itu tampaknya luas, tapi sesungguhnya sempit. Seorang ilustrator yang bagus di satu penerbit, akan, gampang dikenali penerbit lain. Itulah yang dialami Aan. Lepas dari Dabel Brother, Aan diajak bergabung oleh sebuah agency yang berkedudukan di Spanyol.
Sang agency menawarkan gambar Anto ke penerbit di Amerika. Tak tanggung-tanggung, Anto mendapat kontrak dari Marvel. Ia mengerjakan komik superhero X-Men. “Saya enggak menyangka bisa bekerja di sebuah penerbit besar.”

Selanjutnya, ia dapat tawaran dari DC Comics. Ia menggarap JLA danTitans. Bahkan, ia menggarap komik Superman, Batman, Green Lantern, Aquaman, superhero legendaris dunia. Mulai honor 200 dolar per halaman, ia dikontrak eksklusif selama dua tahun dengan bayaran 235 dolar per halaman. “Tahun ini kontrak berakhir. Saya harap, sih, nanti akan dikontrak kembali.”
Sebenarnya Aan sering diminta penerbit untuk menghadiri event komik di AS. Di sana, acara komik memang diselenggarakan tahunan. Biasanya, menghadirkan para kreator untuk keperluan launching komik atau book signing. Tahun lalu, Aan sebenarnya juga diundang ke Afrika Selatan untuk acara komik internasional. Uniknya, Aan tak pernah memenuhi undangan. “Saya lebih suka tinggal di desa,” ujarnya tenang.
Omong-omong tidak tertarik membuat komik lokal? “Nanti kalau kontrak eksklusifnya sudah selesai, saya ingin juga membuat komik lokal.”

Daftar Komik karya Ardian Syaf
- Take A Chance, 1-4, Dabel Brothers Publishing
- The Dresden Files: Welcome to The Jungle 1-4 (Dabel Brothers Publishing)
- The Dresden Files: Stormfront 1-6 (Dabel Brothers Publishing)
- X-Men Manifest Destiny: Nighcrawler (Marvel)
- Captain Britain & MI-13, 13 (Marvel)
- JLA, 34 (DC)
- Titans, 23 (DC)
- Superman/Batman, 68-70 (DC)
- Blackest Night: Batman, 1-3 (DC)
- Blackest Night: Phantom Stranger (DC)
- Green Lantern Corps, 48-52 (DC)
- Brightest Day, 1,2,4,5,7,8,13 (DC)

 



sumber
KEMLADHEYAN NGAJAK SEMPAL

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti benalu mengajak patah. Pepatah ini dalam masyarakat Jawa dimaksudkan sebagai bentuk petuah atau sindiran bagi orang yang menumpang pada seseorang, namun orang yang menumpang itu justru menimbulkan gangguan, kerugian, dan bahkan kebangkrutan bagi yang ditumpanginya.

Benalu adalah jenis tanaman parasit yang menghisap sari-sari makanan dari pohon yang ditumpanginya. Dalam pepatah di atas benalu tersebut tidak saja digambarkan menghisap sari-sari makanan dari induk tanaman yang ditumpanginya, namun benalu tersebut justru mengajak dahan yang ditumpanginya untuk patah.

Hal ini bisa terjadi pada sebuah keluarga yang menampung seseorang (atau semacam indekosan) akan tetapi orang yang menumpang itu dari hari ke hari justru menimbulkan kerugian pada yang induk semangnya. Kerugian itu bisa berupa materiil maupun spirituil. Mula-mula orang yang indekos ini hanya menempati sebuah kamar. Akan tetapi karena kelicikan dan keculasannya bisa saja kemudian ia melakukan rekayasa sehingga orang yang punya rumah induk justru terusir karenanya.

Contoh lain dari pepatah itu dapat dilihat juga pada berbagai peristiwa sosial yang kerap terjadi di tempat-tempat indekosan. Oleh karena sebuah keluarga menyediakan kamar-kamar indekosan, tidak jarang orang yang indekos akhirnya terlibat percintaan dengan bapak atau ibu kosnya sendiri sehingga keluarga yang semula menyediakan indekosan itu hancur urusan rumah tangganya.

Persoalan semacam itu juga dapat terjadi pada sebuah perusahaan. Orang yang mendapat kepercayaan pada sebuah perusahaan oleh karena jiwa tamak dan rakusnya sering kemudian memanfaatkan kekayaan atau dana perusahaan untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya perusahaan mengalami kebangkrutan atau bahkan tutup usaha atau kegiatan karenanya.


SAPA NANDUR BAKAL NGUNDHUH

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti siapa menanam akan menuai. Secara luas pepatah ini berarti bahwa apa pun yang kita perbuat di dunia ini akan ada hasilnya sesuai dengan apa yang kita perbuat. Ibarat orang menanam pohon pisang, ia pun akan menuai pisang di kemudian hari. Jika ia menanam salak ia pun akan menuai salak di kemudian hari.

Secara lebih jauh pepatah ini ingin mengajarkan kepada kita bahwa jika kita melakukan perbuatan yang tidak baik, maka di kemudian hari kita pun akan mendapatkan sesuatu yang tidak baik. Entah itu dari datangnya atau bagaimanapun caranya. Intinya, pepatah ini ingin mengajarkan hukum keseimbangan yang dalam bahasa Indionesia mungkin sama maknanya dengan pepatah, siapa menabur angin akan menuai badai.

Jika Anda merasa berbuat buruk, lebih-lebih perbuatan buruk tersebut merugikan, melemahkan, mengecilkan, bahkan “mematikan” orang lain, bersiap-siaplah Anda untuk menerima balasannya kelak di kemudian hari. Balasan itu mungkin sekali tidak langsung mengenai Anda, tetapi bisa juga mengenai anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda.

Apabila Anda merasa telah berbuat kebajikan, Anda boleh merasa tenteram sebab Anda pun akan menuai hasilnya kelak di kemudian hari. Hasil itu mungkin tidak langsung Anda terima, namun bisa jadi yang menerima adalah anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda. Hasil itu belum tentu sama seperti yang Anda perbuat, namun bobot, makna, atau nilainya barangkali bisa sama.

Demikian makna pepatah yang masih banyak diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa ini.


AMEMAYU HAYUNING BUWANA

Pepatah Jawa ini secara harfiah berati mempercantik kecantikan dunia. Pepatah ini menyarankan agar setiap insan manusia dapat menjadi agen bagi tujuan itu. Bukan hanya mempercantik atau membuat indah kondisi dunia dalam pengertian lahir batin, namun juga bisa membuat hayu dalam pengertian rahayu ’selamat’ dan sejahtera.

Dengan demikian pepatah ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa alangkah indah, selamat, cantik, dan eloknya kehidupan di dunia ini jika manusia yang menghuninya bisa menjadi agen bagi hamemayu hayuning buwana itu. Untuk itu setiap manusia disarankan untuk tidak merusakkan dunia dengan perilaku-perilaku buruk dan busuk. Perilaku yang demikian ini akan berbalik pada si pelaku sendiri dan juga lingkungannya. Hal inilah yang merusakkan dunia. Untuk itu pengekangan diri untuk tidak berlaku jahat, licik, culas, curang, serakah, menang sendiri, benar sendiri, dan seterusnya perlu diwujudkan untuk mencapai hayuning buwana.

Tentu saja makna yang dimaksudkan oleh pepatah ini adalah makna dalam pengertian lahir batin. Keduanya harus seimbang. Tanpa itu apa yang dimaksud dari hamemayu hayuning buwana itu akan gagal. Sebab tindakan yang tidak didasari ketulusan dan kesucian hati hanya akan menumbuhkan pamrih di luar kewajaran atau tendensi yang barangkali justru menjadi bumerang bagi tujuan pepatah itu. Sebab hamemayu hayuning buwana mendasarkan diri pada niat yang suci atau tulus dalam mendarmabaktikan karya (kerjanya) bagi dunia.


WANI NGALAH LUHUR WEKASANE

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti berani mengalah akan mulia di kemudian hari.

Orang boleh saja mencemooh pepatah yang sekilas memperlihatkan makna tidak mau berkompetisi, pasrah, penakut, lemah, dan sebagainya. Namun bukan itu sesungguhnya yang dimaksudkan. Wani ngalah sesungguhnya dimaksudkan agar setiap terjadi persoalan yang menegangkan orang berani mengendorkan syarafnya sendiri atau bahkan undur diri. Lebih-lebih jika persoalan itu tidak berkenaan dengan persoalan yang sangat penting.

Pada persoalan yang sangat penting pun jika orang berani mengalah (sekalipun ia jelas-jelas berada pada posisi benar dan jujur), kelak di kemudian hari ia akan memperoleh kemuliaan itu. Bagaimana kok bisa begitu ? Ya, karena jika orang sudah mengetahui semua seluk beluk, putih-hitam, jahat-mulia, culas-jujur, maka orang akan dapat menilai siapa sesunggunya yang mulia itu dan siapa pula yang tercela itu. Orang akan dapat menilai, menimbang: mana loyang, mana emas.

Memang, tidak mudah bahkan teramat sulit dan nyaris mustahil untuk bersikap wani ngalah itu. Lebih-lebih di zaman yang semuanya diukur serba uang, serba material, hedonis, dan wadag semata seperti zaman ini. Namun jika kita berani memulai dari diri sendiri untuk bersikap seperti itu, dapat dipastikan kita akan beroleh kemuliaan di kemudian hari sekalipun sungguh-sungguh kita tidak mengharapkannya, karena kemuliaan itu sendiri tidak bisa diburu-buru atau diincar-incar seperti orang berburu burung. Kemuliaan didapatkan dengan laku serta keikhlasan. Jika kita mengharap-harapkannya, maka semuanya justru akan musnah. Kemuliaan itu sekalipun berasal dari diri kita sendiri namun orang lain lah yang menilainya. Bukan kita. Kita tidak pernah tahu apakah kita ini mulia atau tidak. Orang lain lah yang bisa menilai itu atas diri kita.


GUSTI ALLAHE DHUWIT, NABINE JARIT

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti Gusti Allahnya uang, nabinya kain. Pepatah ini sebenarnya ingin menggambarkan orang yang hidupnya hanya memburu uang atau harta benda, kemewahan, dan kenikmatan. Sehingga yang ada di dalam otak dan hatinya hanyalah bagaimana mendapatkan uang, kemewahan, dan kenikmatan hidup itu. Bahkan untuk mendapatkan itu semua ia rela melupakan segalanya. Baik itu etika, moral, kebajikan, dan seterusnya. Tidak ada halangan apa pun sejauh itu semua ditujukan untuk mendapatkan uang, kemewahan, dan kenikmatan. Artinya, uang, kemewahan, dan kenikmatan adalah segala-galanya.

Orang boleh saja menampik pepatah itu. Akan tetapi di balik itu semua orang juga sangat sering tidak sadar bahwa seluruh daya hidup yang ada pada dirinya hanya ditujukan untuk tujuan duniawiah tersebut.


KEBO NYUSU GUDEL

Pepatah tersebut di atas secara harfiah berarti kerbau menyusu gudel. Gudel adalah nama anak kerbau. Jadi pepatah itu menunjukkan sebuah logika yang terbalik atau dibalik.

Maksud dari pepatah itu adalah bahwa orang tua atau dewasa yang meminta pengetahuan, pelajaran, atau bahkan meminta jatah hidup kepada anaknya. Secara logika semestinya orang tua itu lebih dulu tahu, pintar, dan punya uang daripada anaknya. Akan tetapi pada banyak kasus logika semacam itu justru terbalik. Ada banyak orang tua yang minta pengetahuan atau pelajaran serta bahan untuk kelangsungan hidupnya pada anaknya.


KESRIMPET BEBED KESANDHUNG GELUNG

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti terjerat bebed (kain jarit) tersandung gelung.

Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang terjeratnya seorang pria pada wanita. Bebed dan gelung dalam masyarakat Jawa adalah identik dengan wanita itu sendiri. Jadi, yang dikatakan sebagai kesrimpet bebed kesandung gelung adalah peristiwa terjeratnya seorang pria (biasanya yang telah berkeluarga) pada wanita wanita lain (bisa gadis, janda, atau ibu rumah tangga).

Dalam peristiwa semacam itu si pria bisa tidak berkutik sama sekali (karena telah terjerat dan tersandung) oleh wanita tersebut sehingga kehidupannya menjadi kacau dan serba tunduk pada wanita tersebut. Apa pun yang dimaui wanita itu akan dituruti oleh pria yang terlanjur kesrimpet tersebut.

Pepatah ini ingin mengajarkan agar kita semua tidak mudah terjerat oleh hal-hal yang nempaknya memang indah dan nikmat, namun di balik itu hal demikian justru mengancam ketenteraman, keselamatan, dan kenyamanan hidup kita sendiri dan orang lain (keluarga, saudara, tetangga, dan sebagainya).


GUPAK PULUTE ORA MANGAN NANGKANE

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti tidak makan nangkanya tetapi terkena getahnya. Secara luas pepatah Jawa ini ingin menunjukkan sebuah peristiwa atau kiasan yang menggambarkan akan kesialan seseorang karena ia tidak menikmati hasilnya tetapi justru menerima resiko buruknya.

Hal semacam ini dapat dicontohkan misalnya ada dua atau lebih orang melakukan pencurian, namun hanya salah seorang yang kena tangkap. Orang yang kena tangkap itu kemudian dipukuli dan dihukum sedangkan temannya yang lolos berhasil membawa kabur hasil curiannya. Orang yang apes itulah yang dikatakan sebagai terkena getahnya. Sedangkan temannya yang kabur sambil menggondol curiannya itulah yang memakan nangkanya.

Dapat juga dicontohkan, ada seorang yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan yang sedang terjadi di lingkungannya, namun tiba-tiba ia dikorbankan. Mungkin sekali ia dikorbankan karena ketidaktahuannya itu. Sementara orang yang mengambil manfaat dari perkara itu bisa melenggang dengan merdeka seperti tanpa dosa.


GELEM JAMURE EMOH WATANGE

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti mau jamurnya tidak mau bangkainya.

Pepatah tersebut secara luas ingin menggambarkan keadaan (seseorang) yang hanya mau enaknya tetapi tidak mau jerih payahnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan misalnya sebuah perhelatan besar di sebuah dusun atau organisasi. Ketika persiapan, kerja bakti, dan lain-lain sedang dilakukan ada orang yang tidak mau terlibat karena mungkin takut kotor, takut capai, takut dianggap pekerja kasar, takut dianggap sebagi buruh yang tidak berkelas, dan sebagainya.

Akan tetapi ketika perhelatan itu sukses, maka orang yang tadinya tidak mau bekerja kasar itu tiba-tiba mengaku-aku bahwa dialah perancang atau arsiteknya. Jadi dialah yang patut diberi aplaus atau pujian. Bukan yang lain.

Contoh lain dari pepatah ini bisa juga dilihat misalnya dalam sebuah kerja bareng masak-memasak. Ketika semua orang terlibat urusn memasak, ada satu dua orang yang hanya berlaku atau berlagak seperti mandor. Akan tetapi begitu masakan itu matang orang yang berlagak seperti mandor itu justru yang makan pertama kali bahkan tidak memikirkan cukup tidaknya makanan tersebut bagi orang lain yang telah mempersiapkannya.


KAYA KODHOK KETUTUPAN BATHOK

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti seperti katak di dalam tempurung. Apa yang dilihat, diketahui, dan dirasakan katak di dalam tempurung tentunya hanyalah dunia di dalam tempurung itu. Katak tidak akan melihat suasana atau dunia di luar tempurung itu.

Secara luas pepatah ini ingin mengatakan bahwa orang yang pikiran, referensi, pengetahuan, dan pengalamannya tidak banyak tentu tidak akan tahu banyak hal. Orang yang tidak meluaskan pengalamannya hanya akan berbicara hal-hal yang sempit, sebatas yang dia ketahui. Orang yang pengetahuannya masih sedikit sebaiknya tidak berlaku seperti katak dalam tempurung. Karena katak di dalam tempurung itu yang dia ketahui hanya sebatas dunia tempurung itu. Ia tidak tahu ada dunia yang lebih luas di luar sana. Untuk itu orang diharapkan untuk meluaskan pengetahuannya agar tidak bersikap seperti katak dalam tempurung.

Orang yang seperti katak dalam tempurung, biasanya akan bersikap sombong atau angkuh dan sok tahu padahal dia sebenarnya belum tahu apa-apa atau pengetahuannya masih sedikit/dangkal.


SAPA GAWE BAKAL NGANGGO

Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti siapa membuat bakal memakai. Secara luas pepatah tersebut bermakna bahwa siapa pun yang membuat sesuatu dia sendirilah yang akan memakainya. Artinya, bahwa apa pun yang dilakukan seseorang, dia sendirilah yang akan bertanggung jawab.

Jika seseorang berbuat baik, maka ia pulalah yang akan memakai kebaikan itu. Demikian juga jika ia berbuat sebaliknya. Pepatah ini sesungguhnya merupakan representasi dari kepercayaan akan adanya hukum karma atau hukum keseimbangan alam. Oleh karena itu bagi masyarakat yang mempercayai hal itu mereka akan sangat hati-hati untuk berbuat karena mereka sadar bahwa perbuatannya akan berdampak pada dirinya sendiri dan mungkin kepada famili dan keturunannya.

Hal seperti dapat dicontohkan misalnya apabila kita merusak alam, maka alam akan hancur dan kehancuran alam itu akan berdampak menghancurkan hidup kita. Dapat juga dicontohkan misalnya apabila kita selalu berbuat jahat kepada orang lain, entah disengaja atau tidak kita pun kelak akan dijahati atau dirugikan oleh tindakan orang lain atau oleh alam. Mungkin juga akibat perbuatan kita itu maka keturunan kitalah yang akan menerima akibat atau resikonya.


TUNGGAK JARAK MRAJAK TUNGGAK JATI MATI

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti tunggak (pohon) jarak menjadi banyak tunggak jati mati. Mrajak dalam khasanah bahasa Jawa dapat diartikan sebagai berkembang biak. Dalam realitasnya pohon jarak memang akan bertunas kembali meskipun batangnya dipatahkan. Sedangkan tanaman jati bila dipotong batangnya biasanya akan mati. Jikalau tumbuh tunas baru, biasanya tunas baru ini tidak akan tumbuh sesempurna batang induknya.

Pepatah ini ingin menggambarkan tentang keadaan orang dari kalangan kebanyakan yang bisa berkembang (mrajak) dan sebaliknya, orang dari kalangan/trah bangsawan/berkedudukan tinggi yang tidak punya generasi penerus (mati). Keadaan semacam ini kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ada begitu banyak orang yang memiliki kedudukan tinggi, namun ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Artinya, orang tuanya adalah orang biasa-biasa saja. Tidak kaya, tiak berpangkat, dan tidak memiliki garis keturunan bangsawan (jati).

Sebaliknya pula banyak anak-anak atau keturunan orang-orang besar/berkedudukan/berdarah bangsawan yang keturunannya tidak mengikuti atau tidak bisa meniru atau melebihi kedudukan leluhurnya.


ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA, ADIWICARA

Pepatah Jawa ini dapat diterjemahkan sebagai mengunggul-unggulkan atau menyombongkan keelokan badan atau wajah, menyombongkan besarnya tubuh atau garus keturunan, menyombongkan ilmu atau pengetahuannya, dan menyombongkan kelihaian bicara atau merdunya suara.

Pepatah tersebut digunakan untuk menasihati orang agar tidak menyombongkan apa pun yang dimilikinya. Orang yang merasa diri mempunyai sesuatu, apa pun itu, kadang-kadang memang menjadi lupa bahwa semua itu hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa. Kesombongan karena merasa diri lebih dari orang lain ini sangat sering mengakibatkan orang yang bersangkutan berlaku semena-mena terhadap orang lain.

Orang yang merasa diri elok rupawan, punya kecenderungan menganggap orang lain tidak seelok dirinya. Orang yang menganggap dirinya besar dan kuat akan menganggap orang lain lemah. Orang yang merasa dirinya keturunan orang hebat berkecenderungan menganggap orang lain adalah keturunan orang rendahan atau tidak punya kelas sosial. Orang yang menganggap dirinya pintar cenderung menggurui dan menganggap orang lain tidak tahu apa-apa. Orang yang merasa dirinya pandai bicara akan berkecenderungan mempengaruhi orang lain dengan kelihaiannya berbicara.

Hal seperti itu dalam masyarakat Jawa dicontohkan dalam perilaku kijang atau menjangan (adigang). Kijang menganggap bahwa tanduknya adalah benda yang paling elok di dunia. Namun ia mati juga karena tanduknya itu. Entah karena diburu, entah karena tanduknya tersangkut belukar.

Perilaku adigung dicontohkan oleh binatang gajah yang tubuhnya demikian besar dan kuat. Ia merasa bahwa segalanya bisa diatasi dengan kekuatannya. Namun ia mati karena bobot tubuhnya itu karena ketika terperosok ke dalam lubang ia tidak bisa mengangkat tubuhnya keluar (saking beratnya).

Perilaku adiguna dicontohkan dengan perilaku ular yang berbisa. Ia menyombongkan bisanya yang hebat, namun mati di tangan anak gembala hanya dengan satu sabetan ranting kecil.

Perilaku adiwicara dicontohkan dalam perilaku burung yang merdu dan lihai berkicau. Ia merasa bahwa kicauannya tidak ada tandingannya di seluruh hutan, namun ia mati oleh karena melalui kicauannya itu pemburu menjadi tahu tempat bersembunyi atau tempat bertenggernya.


ADOH TANPA WANGENAN CEDHAK DATAN SENGGOLAN

Pepatah Jawa tersebut secara harfiah berarti jauh tanpa ukuran dekat tidak senggolan. Pepatah ini dalam masyarakat Jawa biasanya digunakan untuk menggambarkan keberadaan kekasih atau Tuhan.

Orang yang tengah dilanda cinta biasanya akan merasa kangen terus dengan orang yang dijatuhcintainya. Jika kekasih tersebut tidak berada di sisinya, memang terasa begitu jauh keberadaannya. Namun di balik itu sesungguhnya sang kekasih juga sangat dekat dengan dirinya, yakni berada di dalam hatinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekasih itu berada jauh namun sesungguhnya jua sangat dekat. Sekalipun kedekatan (di hati) itu menyebabkannya tidak bisa bersentuhan atau bersenggolan.

Hal yang sama juga sering digunakan untuk menggambarkan keberadaan Tuhan bagi manusia. Kadang orang merasa bahwa Tuhan demikian jauh, seolah-olah berada di atas langit lais ke tujuh yang jaraknya tidak dapat diukur. Namun sesungguhnya Tuhan juga begitu dekat terasa di hati masing-masing orang. Sekalipun begitu manusia tidak bisa memegangnya.


SADUMUK BATHUK SANYARI BUMI DITOHI PATI

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti satu sentuhan dahi, satu jari (lebar)-nya bumi bertaruh kematian. Secara luas pepatah tersebut berarti satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati).

Pepatah di atas sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah dan kehormatan atau harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan orang pun sanggup membela semuanya itu dengan taruhan nyawanya. Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walapun luasnya hanya selebar satu jari tangan. Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai wanita/pria yang telah syah mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau disentuh oleh orang lain. Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah lambang kehormatan atau harga diri.

Artinya, keduanya itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau tampak mata semata, tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu identik dengan harga diri atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar boleh jadi mereka akan mempertaruhkannya dengan nyawa mereka.


NABOK NYILIH TANGAN

Pepatah di atas secara harfiah berarti memukul meminjam tangan. Secara luas pepatah ini berarti memukul dengan meminjam tangan orang lain.

Pepatah ini ingin menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial sering ada orang yang bertindak tidak ksatria. Artinya, ketika dia ingin menjatuhkan, menyakiti, menyingkirkan, membunuh, dan melenyapkan orang lain ia tidak bertindak sendiri. Tidak menghadapinya sendiri. Namun dengan menggunakan (meminjam) tangan orang lain sehingga seolah-olah dirinya adalah orang yang bersih, baik, dan suci. Seringkali perkara demikian dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang meminjam tangan itu sepertinya tidak terkait dengan persoalan yang tengah terjadi, yang menimpa orang yang kena “pukul” itu.

Ketika orang yang “dituju” dengan meminjam tangan orang lain itu berhasil disingkirkan, maka ia pun akan merasa lega. Puas. Konyolnya pula ia akan tetap merasa sebagai Mr. Clean, sekalipun segala persoalan dan kolusi jahat itu bersumber dari orang yang bersangkutan.


AJINING RAGA DUMUNUNG ANA ING BUSANA

Secara harfiah pepatah tersebut di atas berarti harga diri dari fisik (tubuh) terletak pada pakaian.

Pepatah ini ingin menyatakan bahwa jika seseorang berbusana dengan sembarangan di sembarang tempat, maka ketubuhan (dan jati dirinya) tidak akan dihargai oleh orang lain.

Suatu contoh misalnya, kita mengenakan pakaian renang kemudian menemui tamu yang berkunjung ke kita atau sebaliknya. Dapat dibayangkan bagaimana respon atau tanggapan orang lain terhadap kita. Sungguhpun pakaian renang yang kita kenakan berharga jutaan rupiah misalnya, orang tetap tidak akan menghargai kita karena apa yang kita kenakan tidak tepat penempatannya.

Bisa juga diambil contoh kita datang ke sebuah pelayatan, namun kita datang ke sana dengan mengenakan pakaian pesta yang dilengkapi dengan perhiasan. Orang pun bisa menanggapi kita sebagai orang yang tidak bisa menempatkan diri.

Pada intinya pepatah di atas ingin menegaskan kepada kita agar kita mampu menghargai diri sendiri dengan berbusana yang pantas, tempat yang tepat, serta waktu yang sesuai. Dengan begitu kita tidak akan jadi bahan tertawaan, juga tidak akan mengganggu keselarasan hubungan sosial.


ANCIK-ANCIK PUCUKING ERI

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti bertumpu pada ujung duri. Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan keadaan yang begitu gawat, kritis, dan nyaris tidak tertolong lagi. Bisa dibayangkan bagaimana keadaan seseorang yang bertumpu pada ujung duri. Tentu saja sakit dan khawatir. Ibaratnya keberlangsungan hidupnya tinggal menunggu ajal belaka.

Hal seperti itu dapat juga dicontohkan dengan keadaan seseorang yang menerima sebuah surat pemberitahuan bahwa sebentar lagi rumahnya akan digusur. Entah dalam waktu dekat atau jauh, orang tersebut tentu sudah merasakan kekhawatirannya. Kekhawatiran dan ketiadaan harapan ini ibaratnya ancik-ancik pucuking eri.


TUNA SATAK BATHI SANAK

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti rugi satu tak (satu ukuran uang /segepok uang) untung saudara.

Pepatah ini ingin mengajarkan bahwa sekalipun dalam dunia dagang yang pertimbangan utamanya hanyalah mencari untung dan untung, bagi orang Jawa kerugian sekian uang tidak mengapa asal (masih) bisa mendapatkan sedulur ‘saudara’ atau teman. Teman (dalam arti sesungguhnya) tampaknya memang menjadi pilihan yang lebih mempunyai makna daripada sekadar uang (material).

Pada sisi lain pepatah ini juga mengajarkan bahwa sedulur (sanak) jauh lebih menguntungkan daripada seukuran uang dalam kesesaatan. Jika diulur, maka teman atau sedulur itu di kemudian hari dapat memberikan keuntungan yang jauh lebih besar daripada seukuran uang pada saat transaksi jual beli terjadi. Jika memang sedulur itu menyedulur ‘menyaudara’ dengan kita, dapat dipastikan bahwa ia (mereka) akan membantu kita jika kita mendapatkan kesulitan. Bantuan dari orang yang demikian itu tanpa kita sadari nilainya jauh lebih besar dibandingkan ketika kita mendapatkan uang satak pada saat kita melaksanakan transaksi jual beli di masa lalu.

Dengan adanya rasa menyedulur itu, orang yang bersangkutan tidak akan owel ‘sungkan/enggan’ memberikan bantuannya dalam bentuk apa pun yang sesungguhnya tidak bisa kita ukur dengan sekadar hanya uang atau material. Dalam kali lain, orang yang bersangkutan bisa jadi akan membeli produk atau dagangan yang kita jual tanpa perlu lagi menawar karena di masa lalu ia pernah mendapatkan kemurahan dari kita yang berupa satak (satu ukuran uang).

Pepatah ini sesungguhnya menunjukkan betapa optimisnya orang Jawa dalam menyikapi hidup.


ASU BELANG KALUNG WANG

Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti anjing belang berkalung uang.
Secara lebih jauh pepatah ini inginmenggambarkan keadaan orang yang secara visual buruk atau secara social tidak mempunyai peringkat yang tinggi (tidak berpangkat atau berjabatan) namun ia memiliki kekayaan yang berlimpah.

Asu (anjing) dalam masyarakat Jawa termasuk binatang yang sering digunakan sebagai bahan misuh (memaki). Dengan demikian, ia memiliki derajat yang buruk sekalipun dalam praktek anjing memang banyak digunakan untuk membantu orang terutama dalam soal keamanan. Bukan hanya itu. Asu belang (anjing bercorak/berbulu belang) dalam masyarakat Jawa masa lalu termasuk kategori anjing yang bernilai paling rendah.

Jadi, pepatah di atas ingin menggambarkan orang yang di masyarakat tidak dianggap, namun ia memiliki uang (kekayaan) yang berlimpah sehingga pada akhirnya ia juga didatangi orang (karena yang datang menghendaki uangnya).


NGUNDHUH WOHING PAKARTI

Peribahasa di atas secara harfiah berarti memanen buah pekerjaan/tindakan. Secara luas peribahasa ini ingin mengajarkan tentang orang yang menuai dari buah tindakannya sendiri. Hal ini dapat dicontohkan misalnya karena seseorang selalu mencelakai atau merugikan orang lain, maka pada suatu ketika ia pun akan diperlakukan demikian pula oleh orang lain.

Peribahasa ini sesungguhnya merupakan representasi dari paham kepercayaan akan hukum karma yang sampai sekarang masing dianut oleh banyak orang Jawa (Indonesia). Peribahasa tersebut menjadi penanda akan adanya keyakinan hukum harmonium alam raya. Hal ini bisa dicontohkan pula misalnya karena manusia menebangi hutan semaunya, maka bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan pun mengancam. Dapat saja terjadi bahwa undhuh-undhuhan atau panen dari pakarti itu tidak mengenai orang yang berbuat namun mengenai saudara, anak, cucu, pasangan hidup, dan keturunannya. Oleh karena itu, bagi orang yang percaya pada paham ini mereka akan takut berbuat negatif karena mereka percaya bahwa hal yang negatif itu nantinya akan mengenai dirinya sendiri, saudara, dan keturunannya.


NULUNG MENTHUNG

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti menolong mementhung. Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang perilaku orang yang kelihatannya nulung (menolong), namun sesungguhnya ia mementung (memukul/mencelakai) orang yang ditolongnya itu.

Hal seperti ini dapat dicontohkan misalnya ada orang yang kesulitan uang. Tiba-tiba datang orang yang menawarkan pinjaman uang. Tentu hal ini disambut dengan gembira. Akan tetapi selang beberapa saat kemudian orang yang dipinjami uang itu akan merasa kecewa karena ia harus mengembalikannya berikut bunganya yang mencekik. Alih-alih ditolong, dia malah justru dicelakakan. Dalam banyak kasus orang yang terlanjur meminjam uang itu terpaksa melepaskan rumah, tanah, dan seluruh harta bendanya karena tidak mampu mengembalikan pinjaman berikut bunganya.

Dapat juga dicontohkan, ada orang yang kelihatannya getol menolong temannya dalam bekerja. Akan tetapi ketika pekerjaan itu berjalan lancar dan sukses dengan tiba-tiba orang yang menolong itu mengklaim bahwa itu semua adalah hasil kerjanya (peran temannya dihapuskan). Sehingga orang yang ditolong bekerja itu tidak pernah dianggap (dihargai) oleh atasan dan bahkan oleh teman yang lainnya.

Hal ini biasa terjadi juga dengan penyerobotan ide atau gagasan. Misalnya A memmpunyai ide. Lalu B berusaha membantu menyelenggarakan ide itu akan tetapi di tengah jalan ide itu diklaim B sebagai idenya belaka.


ILANG-ILANGAN ENDHOG SIJI

Pepatah Jawa di atas berarti kehilangan satu telur. Pepatah Jawa ini secara luas ingin menyatakan tentang kepasrahan atau keputusasaan seseorang (biasanya orang tua) atas perilaku anaknya yang dianggap sudah di luar batas.

Hal ini dapat dicontohkan misalnya dengan perilaku seorang anak yang demikian durhaka, jahat, brengsek, dan tidak bisa dinasihati lagi. Apa pun nasihat dan oleh siapa pun nasihat itu diberikan seolah memang sudah tidak mempan lagi. Menghadapi hal yang demikian ini biasanya orang tua akan menyerah atau putus asa. Harapan tentang hal-hal yang baik pada anaknya bisa pupus seketika. Dalam kondisi semacam ini orang tua bisa pasrah atau melepaskan harapannya atas anaknya. Dalam hal seperti ini orang tua bisa merasa ikhlas atau melupakan anaknya yang sudah bisa ditolong lagi tersebut.

Harapan orang tua akan ditambatkan pada anak-anaknya yang lain. Ibarat induk mengerami telur dalam jumlah lebih dari satu, sebuah telur telah direlakannya hilang.


NAPAKAKE ANAK PUTU

Pepatah Jawa di atas secar harfiah berarti bertapa untuk anak cucu. Napakake berasal dari kata tapa atau bertapa. Napakake berarti bertapa untuk.

Secara luas pepatah ini mengajarkan atau memberikan nasihat agar orang hidup di dunia ini tidak hanya mengejar kepuasan, kepopuleran, dan kesejahteraan dirinya sendiri. Ia harus ingat bahwa ia akan mempunyai keturunan. Keturunan inilah yang perlu dibantu agar hidupnya kelak lancar, sejahtera, dan bahagia. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan bertapa (laku prihatin).

Bertapa dapat disamakan dengan tekun berdoa kepada Tuhan, memohon keridhaanNya agar Tuhan bersedia melimpahkan rahamtNya kepada keturunan yang didoakannya itu. Kecuali berdoa, bertapa juga selalu diikuti dengan pengekangan hawa nafsu, memperbanyak amal kebaikan dengan tanpa pamrih. Semuanya dilakukan dengan keikhlasan hati yang tulus.

Tidak mengherankan jika di lingkungan masyarakat Jawa masa lalu sekalipun ada banyak keluarga hidup dalam kemiskinan mereka tetap menjalaninya dengan tabah dan ikhlas. Mereka menganggap bahwa hal semacam itu merupakan bagian dari perjalanan hidup yang mesti dijalani sekalian sebagai latihan bertapa demi anak cucunya kelak. Tidak mengherankan juga di masa lalu sangat jarang ada orang mengemis dan bertindak kriminal sekalipun masyarakatnya hidup serba kekurangan. Mereka menjalani hidup dengan keikhlasan, apa pun kesulitan yang mereka hadapi. Mereka menyikapi semuanya itu sebagai ganjaran (hadiah) belaka dari Tuhan. Bukan cobaan, tetapi hadiah. Mereka menganggap hal itu sebagai hadiah karena di balik ketidaknimatan hidup itu mereka percaya bahwa mereka sedang diajak untuk memperkaya hati, memperkuat batin, dan lebih dekat kepada Sang Khalik. Itu adalah ganjaran.

Mungkin pepatah semacam di atas masih menjadi pegangan bagi laku hidup mereka di kala itu.


KAYA NGENTENI THUKULE JAMUR ING MANGSA KETIGA

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti seperti menunggui tumbuhnya jamur di musim kemarau.

Secara luas pepatah tersebut ingin menunjukkan sebuah aktivitas (mengharap sesuatu) yang sia-sia. Jamur identik dengan kelembaban. Kelembaban tidak berkait erat dengan air.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sudah bisa mengidentifikasi/memperkirakan bahwa jika musim hujan tiba, maka akan ada banyak jamur bertumbuhan di sembarang tempat. Akan tetapi jika musim kemarau tiba, jamur hampir tidak mungkin didapatkan di mana pun. Berdasarkan ilmu titen inilah kemudian muncul pepatah itu.

Jadi, sangat tidak mungkin mengharapkan tumbuhnya jamur di musim kemarau. Jika kita mempunyai pengharapan yang dinanti namun tidak pernah terwujud itu ibaratnya menunggui tumbuhnya jamur di musim kemarau. Bisa juga pepatah ini digunakan untuk aktivitas menunggu yang amat lama sehingga seperti menunggui sesuatu yang tidak jelas atau tidak berjuntrung.


WIT GEDHANG AWOH PAKEL

Pepatah Jawa di atas secara harfiah diartikan ‘pohon pisang berbuah pakel’ (sejenis mangga yang sangat harum aromanya jika matang namun agak asam rasanya).

Dalam kehidupan nyata jelaslah amat mustahil terjadi ada pohon pisang yang berbuah pakel. Dari sisi jenis pohon, marga, kelas, dan ordonya saja sudah amat jauh berbeda. Demikian juga sifat-sifat yang dibawanya.

Pepatah ini dalam masyarakat Jawa digunakan untuk menggambarkan betapa mudahnya berbicara atau ngomong. Namun begitu sulitnya melaksanakan, mengerjakan, atau mewujudkannya. Pepatah itu dapat juga digunakan untuk menggambarkan betapa sebuah teori begitu mudah diomongkan atau dituliskan namun tidak mudah untuk dipraktekkan. Begitu mudah nasihat, petuah, pepatah, bahkan kotbah diucapkan, namun untuk pelaksanaannya sungguh tidak mudah. Dibutuhkan perjuangan keras untuk mengendalikan semua pancaindra dalam diri manusia untuk dapat mengarah ke pelaksanaan yang dipandang baik dan benar itu.

Kalimat dalam pepatah tersebut dalam masyarakat Jawa sering kemudian disambung dengan anak kalimat yang berbunyi, omong gampang nglakoni angel ‘omong mudah melaksanakan sulit’.


KAYA NGENTENI KEREME PRAU GABUS, KUMAMBANGE WATU ITEM

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti seperti menantikan tenggelamnya perahu gabus, mengapungnya batu hitam (batu kali).

Perahu yang terbuat dari bahan gabus (semacam stereofoam) tentu sangat muskil untuk tenggelam. Demikian pun batu kali (batu andesit) sangak muskil untuk muncul ke permukaan air.

Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan akan sebuah usaha yang sia-sia. Usaha yang tingkat keberhasilannya adalah nol persen. Mungkin saja pepatah ini sama artinya dengan pepatah Ibarat menunggu Godod yang sebenarnya diadopsi dari lakon drama karya Samuel Beckett. Drama ini juga menggambarkan akan sebuah penantian yang sia-sia. Penantian pada sesuatu yang tidak akan datang atau terjadi.

Jika kita mengharapkan pada sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi, maka apa yang kita lakukan ini sama dengan ngenteni kereme prau gabus, kumambange watu item.

Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti di depan memberi teladan, di tengah membangun kehendak/karya, mengikuti dari belakang memberikan daya.

Pepatah ini telah menjadi pepatah atau semboyan yang digunakan di dunia pendidikan Indonesia. Maksudnya, tentu sangat mulia agar murid atau siswa-siswa Indonesia bisa berpedoman pada semboyan yang dipopulerkan oleh Ki Hadjar Dewantara itu.

Maksud dari kalimat pertama dari pepatah ini yakni di depan (maksudnya sebagai pemimpin) hendaknya seseorang dapat memberikan teladan atau contoh. Jika seorang pemimpin tidak dapat memberikan keteladanan baik dalam sikap profesionalnya, maupun dalam sikap hidup secara keseluruhannya. Memang manusia tidaklah pernah akan sempurna. Akan tetapi seorang pimpinan hendaknya selalu berusaha menjaga dirinya agar ia benar-benar dapat menjadi teladan bagi bawahan, anak asuh, ataupun anak buahnya.

Kita dapat membayangkan sendiri jika seoang pemimpin dalam profesi maupun tindakannya tidak dapat diteladani, maka sikap atau perilaku anak buahnya pun dapat dipastikan akan lebih buruk daripadanya. Hal ini juga dapat dilihat dalam sebuah sekolah jika guru-gurunya bertindak kurang baik, maka murid-muridnya pun tentu akan bertindak lebih buruk dari gurunya itu. Tidak adanya keteladanan dari pimpinan menyebabkan anak buah akan kehilangan kepercayaan, hormat, dan segala respeknya.

Jika seorang pimpinan berada di tengah-tengah anak buahnya hendaknya ia bisa membangkitkan kegairahan agar anak buah atau anak asuhnya bisa bersemangat untuk berkarya atau bekerja. Di tengah anak buahnya ia hendaknya juga bisa menjadi teman, sahabat, atau partner yang baik.

Apabila seorang pimpinan berada di belakang anak buahnya hendaknya ia bisa mendorong, memotivasi, bahkan juga mencurahkan segala dayanya sehingga anak buahnya bisa benar-benar memiliki daya untuk berkarya.


KUTUK MARANI SUNDUK

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti kutuk (jenis ikan air tawar yang relatif besar) mendekati sunduk (penusuk/suji). Secara luas pepatah ini ingin menyatakan tentang kejadian atau peristiwa dari seseorang atau sekelompok orang yang mendatangi atau mendekati bahaya atau hal yang dapat membuatnya celaka.

Sunduk atau penusuk adalah pantangan bagi kutuk sebab pada penusuk itulah nyawa kutuk pasti terancam. Hal demikian dapat juga terjadi pada manusia atau orang. Misalnya, ada orang yang tidak bisa berenang, dengan tiba-tiba ia masuk ke dalam sebuah sungai yang dalam, maka tenggelam dan tewaslah orang itu. Dapat juga dilihat contoh lain misalnya, ada orang mendatangi arena peperangan atau pertikaian. Tanpa diketahui orang tersebut terkena peluru nyasar atau lemparan batu. Hal demikian dapat diibaratkan sebagai kutuk marani sunduk. Tegasnya, orang yang mendatangi marabahaya.


MENANG MENENG NGGEMBOL KRENENG

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti diam-diam mengantongi kreneng. Kreneng dalam khasanah Jawa menunjuk pada pengertian sebuah benda menyerupai keranjang yang terbuat dari bilah bamboo yang diraut tipis dan lentur. Kreneng ini berfungsi untuk membungkus atau mewadahi barang-barang belanjaan yang dibawa oleh seseorang. Umumnya kreneng berfungsi sebagai kantong atau tas sementara yang kemudian bisa dibuang begitu saja setelah barang yang berada di dalamnya dikeluarkan.

Pepatah Jawa di atas secara luas ingin menggambarkan perilaku seseorang yang di permukaan (fisik, lahiriah) kelihatan pendiam, tidak banyak omong akan tetapi di pikiran dan di hatinya sebenarnya dia tengah mempersiapkan atau menyimpan sesuatu (yang umumnya tidak baik). Entah itu berupa rencana-rencana atau tujuan-tujuan yang tidak mulia. Entah itu rekayasa manipulasi, kebohongan, dan seterusnya.


DIJUPUK IWAKE AJA NGANTI BUTHEG BANYUNE

Pepatah di atas secara harfiah berarti diambil ikannya jangan sampai keruh airnya.

Pepatah ini mengandaikan pada sebuah peristiwa perburuan ikan di kolam atau di sebuah sungai. Pada umumnya pengambilan ikan di kolam atau sungai selalu menimbulkan kekeruhan pada air tempat ikan tersebut diambil. Hal ini terjadi karena gerakan tubuh manusia, benda lain, atau bahkan gerakan ikan itu sendiri di dalam air tersebut sehingga mengubak atau mengaduk air kolam/ sungai. Idealnya adalah ikan yang diincar bisa diambil namun air yang melingkupinya jangan sampai menjadi keruh atau butek.

Pepatah ini secara luas menyangkutkan persoalannya pada pengambilan kebijaksanaan atau penyelesaian masalah yang diidealkan jangan sampai menimbulkan korban atau masalah baru. Hal ini dapat dicontohkan misalnya pada kasus pencurian yang dilakukan oleh seseorang di sebuah dusun. Kebetulan ketua dusunnya mengetahui siapa pelaku pencurian itu. Agar masyarakat jangan sampai gaduh dan ribut-ribut nggak karuan, ketua dusun segera datang dan menangkap pencuri tersebut lalu pencuri tersebut disuruh untuk mengembalikan barang-barang yang dicurinya.

Setelah barang yang dicuri dikembalikan, orang yang kehilangan pun lega. Pencurinya tidak digebuki massa. Ketua dusunnya akan semakin naik pamornya karena jeli dan terampil menangani persoalan. Masyarakatnya tetap tenang. Persoalan yang melanda dusun bisa diselesaikan tanpa ribut, tanpa korban, tanpa kegaduhan. Minim resiko. -wow-